LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. G DENGAN DIAGNOSA MEDIS KEJANG dd EPILEPSI DI RUANG INTENSIVE CARE UNIT BLUD dr. DORIS SYLVANUS PALANGKA RAYA
STASE KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
OLEH:
CICI PAMBRIANI
2013.c.03b.0051
YAYASAN EKA HARAP PALANGKARAYA
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
TAHUN 2016
LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. G DENGAN DIAGNOSA MEDIS KEJANG dd EPILEPSI DI RUANG INTENSIVE CARE UNIT BLUD dr. DORIS SYLVANUS PALANGKA RAYA
Disusun untuk Memenuhi Syarat dalam Kelulusan pada
Pendidikan
Profesi Ners Stase Keperawatan Gawat Darurat
OLEH:
CICI PAMBRIANI
2013.c.03b.0051
YAYASAN EKA HARAP PALANGKARAYA
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
TAHUN 2016
SURAT
PERNYATAAN ORISINALITAS
Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Cici Pambriani
NIM : 2013.c.03b.0051
Program : S1 Keperawatan Ners
Judul : Asuhan Keperawatan
Pada Tn. G dengan Diagnosa Medis Kejang
dd Epilepsi di Ruang Intensive Care Unit BLUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa asuhan
keperawatan ini merupakan hasil karya saya sendiri dan bukan plagiat, begitu
pula yang terkait di dalamnya baik mengenai isi, sumber yang dikutip atau
dirujuk, maupun teknik di dalam pembuatan dan penyusunan laporan ini.
Pernyataan ini akan dipertanggungjawabkan
sepenuhnya, apabila di kemudian hari terbukti bahwa asuhan keperawatan ini
bukan hasil karya sendiri atau plagiat, maka saya bersedia menerima sanksi atas
perbuatan tersebut berdasarkan peraturan yang berlaku.
Dibuat di : Palangka Raya
Tanggal : 11 Juli 2016
Yang Menyatakan,
Cici
Pambriani
KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya sehingga
penyusun dapat menyelesaikan “Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan Pada
Tn. G dengan Kejang dd Epilepsi Di Ruang Intensif Care Unit (ICU) BLUD Rs Dr.
Doris Sylvanus Palangka Raya”.
Penulisan
laporan asuhan keperawatan bedah ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan
berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penyusun mengucapkan terima
kasih kepada:
1.
Dra. Mariaty Darmawan, MM. selaku
Ketua STIKes Eka Harap Palangka Raya yang telah memberikan kesempatan
kepada kami untuk melaksanakan praktik profesi keperawatan medikal
bedah.
2.
dr. ADM Tangkudung.,M.Kes.selaku Kepala BLUD
dr. Doris Sylvannus Palangka Rayayang
telah memberikan izin dan
bimbingan untuk melaksanakan praktik profesi keperawatan medikal bedah pada
wilayah kerjanya.
3.
Rosaniah, S. Kep., Ners. selaku
preseptor klinik yang telah banyak membantu kami dalam melaksanakan asuhan
keperawatan medikal bedah.
4.
Ns.
Putria Carolina, M. Kep. selaku
dosen pendamping dan pembimbing akademik yang telah banyak membantu kami dalam
melaksanakan asuhan keperawatan medikal bedah.
5.
Syamsudin, S. Kep. Selaku Kepala ruangan
dan seluruh Perawat dan staf ruang IGD yang
telah memberikan izin dan
bimbingan untuk melaksanakan praktik profesi keperawatan medikal bedah pada
wilayah kerjanya.
6.
Keluarga dan klien Tn. G yang telah
bersedia untuk menjadi klien dalam pemberian asuhan keperawatan medikal bedah.
Kiranya
Tuhan Yang Maha Esa memberkati dan membalas kebaikan mereka terhadap penyusun.
Semoga laporan yang penyusun buat ini dapat dimanfaatkan sebagaimana mestinya.
Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.
|
BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA
1.1
Konsep
Dasar
1.1.1 Definisi
Kejang adalah gangguan
sistem SSP lokal atau sistemik sehingga kejang bukan merupakan suatu penyakit,
kejang merupakan tanda paling penting akan adanya suatu penyakit lain sebagai
penyebab kejang. Kejang adalah gerakan otot tubuh secara mendadak yang tidak
disadari baik dalam bentuk kronik atau tonik dengan atau tanpa disertai
hilangnya kesadaran.
Epilepsi merupakan sindrom yang ditandai oleh kejang yang
terjadi berulang- ulang. Diagnose ditegakkan bila seseorang mengalami paling
tidak dua kali kejang tanpa penyebab (Jastremski, 1988).
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan
karekteristik kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik otak yang
berlebihan dan bersivat reversibel (Tarwoto, 2007).
Epilepsi
adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang
dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik
abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi
(Arif, 2000).
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam
etiologi dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat
lepas muatan listrik neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai
manifestasi klinik dan laboratorik.
Jadi, Kejang epilepsy adalah penyakit atau sindroma serebral
secara kronik dengan ditandai dengan kejang yaitu gerakan otot tubuh secara
mendadak tanpa disadari.
1.1.2 Etiologi
Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui
(idiopatik), sering terjadi pada:
- Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
- Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
- Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol
- Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
- Tumor Otak
- Kelainan pembuluh darah (Tarwoto, 2007).
Faktor etiologi berpengaruh terhadap penentuan prognosis.
Penyebab utama, ialah epilepsi idopatik, remote simtomatik epilepsi (RSE),
epilepsi simtomatik akut, dan epilepsi pada anak-anak yang didasari oleh kerusakan
otak pada saat peri- atau antenatal. Dalam klasifikasi tersebut ada dua jenis
epilepsi menonjol, ialah epilepsi idiopatik dan RSE. Dari kedua tersebut
terdapat banyak etiologi dan sindrom yang berbeda, masing-masing dengan
prognosis yang baik dan yang buruk.
Dipandang dari kemungkinan terjadinya bangkitan ulang
pasca-awitan, definisi neurologik dalam kaitannya dengan umur saat awitan
mempunyai nilai prediksi sebagai berikut:
Apabila
pada saat lahir telah terjadi defisit neurologik maka dalam waktu 12 bulan
pertama seluruh kasus akan mengalami bangkitan ulang, Apabila defisit
neurologik terjadi pada saat pascalahir maka resiko terjadinya bangkitan ulang
adalah 75% pada 12 bulan pertama dan 85% dalam 36 bulan pertama. Kecuali itu,
bangkitan pertama yang terjadi pada saat terkena gangguan otak akut akan
mempunyai resiko 40% dalam 12 bulan pertama dan 36 bulan pertama untuk
terjadinya bangkitan ulang. Secara keseluruhan resiko untuk terjadinya
bangkitan ulang tidak konstan. Sebagian besar kasus menunjukan bangkitan ulang
dalam waktu 6 bulan pertama.
Perubahan
bisa terjadi pada awal saat otak janin mulai berkembang, yakni pada bulan
pertama dan kedua kehamilan. Dapat pula diakibatkan adanya gangguan pada ibu
hamil muda seperti infeksi, demam tinggi, kurang gizi (malnutrisi) yang bisa
menimbulkan bekas berupa kerentanan untuk terjadinya kejang. Proses persalinan
yang sulit, persalinan kurang bulan atau telat bulan (serotinus) mengakibatkan
otak janin sempat mengalami kekurangan zat asam dan ini berpotensi menjadi
''embrio'' epilepsi. Bahkan bayi yang tidak segera menangis saat lahir atau
adanya gangguan pada otak seperti infeksi/radang otak dan selaput otak, cedera
karena benturan fisik/trauma serta adanya tumor otak atau kelainan pembuluh
darah otak juga memberikan kontribusi terjadinya epilepsi.
Tabel
01. Penyebab- penyebab kejang pada epilepsi
|
|
Bayi
(0- 2 th)
|
Hipoksia
dan iskemia paranatal
Cedera
lahir intrakranial
Infeksi
akut
Gangguan
metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesmia, defisiensi piridoksin)
Malformasi
kongenital
Gangguan
genetic
|
Anak
(2- 12 th)
|
Idiopatik
Infeksi
akut
Trauma
Kejang
demam
|
Remaja
(12- 18 th)
|
Idiopatik
Trauma
Gejala
putus obat dan alcohol
Malformasi
anteriovena
|
Dewasa
Muda (18- 35 th)
|
Trauma
Alkoholisme
Tumor
otak
|
Dewasa
lanjut (> 35)
|
Tumor
otak
Penyakit
serebrovaskular
Gangguan
metabolik (uremia, gagal hepatik, dll )
Alkoholisme
|
1.1.3 Patofisiologi
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan
sekaligus merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian
berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan
mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang lain melalui
sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin
dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni
GABA (gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas
listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber
gaya listrik di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas
listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neron-neron di sekitarnya
dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami
muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat
kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar ke bagian
tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya
kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik
dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya
akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian
akan terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas
membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini
terjadi karena adanya influx natrium ke intraseluler. Jika natrium yang
seharusnya banyak di luar membrane sel itu masuk ke dalam membran sel sehingga
menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi
kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan
berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter
inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang
berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu
akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada
lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan
korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di
serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di tingkat membran sel,
sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang
berikut :
1) Instabilitas membran sel saraf,
sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
2) Neuron-neuron hipersensitif dengan
ambang untuk melepaskan muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan
muatan menurun secara berlebihan.
3) Kelainan polarisasi (polarisasi
berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam repolarisasi) yang
disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat
(GABA).
4) Ketidakseimbangan ion yang mengubah
keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi
neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini
menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi
neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera
setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat
hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis
meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi
1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan
glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama
dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi (proses berkurangnya
cairan atau darah dalam tubuh terutama karena pendarahan; kondisi yang
diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh berlebihan) selama aktivitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada
autopsi. Bukti histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat
neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten
ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di
antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin, suatu
neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan
menyingkirkan asetilkolin.
1.1.4 Klasifikasi Kejang
1.1.5
Berdasarkan
penyebabnya
1) Epilepsi idiopatik : bila tidak di
ketahui penyebabnya
2) Epilepsi simtomatik : bila ada
penyebabnya
1.1.6
Berdasarkan
letak focus epilepsi atau tipe bangkitan
1) Epilepsi partial (lokal, fokal)
a) Epilepsi parsial sederhana, yaitu
epilepsi parsial dengan kesadaran tetap normal
- Dengan gejala motorik: Fokal motorik
tidak menjalar: epilepsi terbatas pada satu bagian tubuh saja, Fokal motorik
menjalar : epilepsi dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar meluas ke
daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson, Versif : epilepsi disertai gerakan
memutar kepala, mata, tuibuh, Postural : epilepsi disertai dengan lengan atau
tungkai kaku dalam sikap tertentu, Disertai gangguan fonasi : epilepsi disertai
arus bicara yang terhenti atau pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu
- Dengan gejala somatosensoris atau
sensoris spesial (epilepsi disertai halusinasi sederhana yang mengenai kelima
panca indera dan bangkitan yang disertai vertigo): Somatosensoris: timbul rasa
kesemuatan atau seperti ditusuk-tusuk jarum, Visual : terlihat cahaya,
Auditoris : terdengar sesuatu, Olfaktoris : terhidu sesuatu, Gustatoris :
terkecap sesuatu, Disertai vertigo
- Dengan gejala atau tanda gangguan
saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat, berkeringat, membera, piloereksi,
dilatasi pupil).
- Dengan gejala psikis (gangguan
fungsi luhur): Disfagia : gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata,
kata atau bagian kalimat, Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa
seperti sudah mengalami, mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin mendadak
mengingat suatu peristiwa di masa lalu, merasa seperti melihatnya lag, Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa
diri berubah, Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut, Ilusi :
perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih besar,
Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada yang bicara, musik, melihat
suatu fenomena tertentu, dll.
b) Epilepsi parsial kompleks, yaitu
kejang disertai gangguan kesadaran.
Serangan parsial sederhana diikuti
gangguan kesadaran : kesadaran mula-mula baik kemudian baru menurun.
- Dengan gejala parsial sederhana
A1-A4. Gejala-gejala seperti pada golongan A1-A4 diikuti dengan menurunnya
kesadaran.
- Dengan automatisme. Yaitu
gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan sendirinya, misalnya gerakan
mengunyah, menelan, raut muka berubah seringkali seperti ketakutan, menata
sesuatu, memegang kancing baju, berjalan, mengembara tak menentu, dll.
- Dengan penurunan kesadaran sejak
serangan; kesadaran menurun sejak permulaan kesadaran.
c) Epilepsi Parsial yang berkembang
menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik, klonik).
1.1.7 Manifestasi Klinis dan Perilaku
1) Manifestasi klinik dapat berupa
kejang-kejang, gangguan kesadaran atau gangguan penginderaan
2) Kelainan gambaran EEG
3) Bagian tubuh yang kejang tergantung
lokasi dan sifat fokus epileptogen
4) Dapat mengalami aura yaitu
suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik (aura dapat berupa perasaan tidak
enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan tidak enak, mendengar suara gemuruh,
mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya)
5) Napas terlihat sesak dan jantung
berdebar
6) Raut muka pucat dan badannya
berlumuran keringat
7) Satu jari atau tangan yang bergetar,
mulut tersentak dengan gejala sensorik khusus atau somatosensorik seperti:
mengalami sinar, bunyi, bau atau rasa yang tidak normal seperti pada keadaan
normal
8) hIndividu terdiam tidak bergerak
atau bergerak secara automatik, dan terkadang individu tidak ingat kejadian
tersebut setelah episode epileptikus tersebut lewat
9) Di saat serangan, penyandang
epilepsi terkadang juga tidak dapat berbicara secara tiba- tiba
10) Kedua lengan dan tangannya kejang,
serta dapat pula tungkainya menendang- menendang
11) Gigi geliginya terkancing
12) Hitam bola matanya berputar- putar
13) Terkadang keluar busa dari liang
mulut dan diikuti dengan buang air kecil
Di saat serangan, penyandang epilepsi tidak dapat bicara
secara tiba-tiba. Kesadaran menghilang dan tidak mampu bereaksi terhadap
rangsangan. Tidak ada respon terhadap rangsangan baik rangsang pendengaran,
penglihatan, maupun rangsang nyeri. Badan tertarik ke segala penjuru. Kedua
lengan dan tangannya kejang, sementara tungkainya menendang-nendang. Gigi
geliginya terkancing. Hitam bola mata berputar-putar. Dari liang mulut keluar
busa. Napasnya sesak dan jantung berdebar. Raut mukanya pucat dan badannya
berlumuran keringat. Terkadang diikuti dengan buang air kecil. Manifestasi
tersebut dimungkinkan karena terdapat sekelompok sel-sel otak yang secara
spontan, di luar kehendak, tiba-tiba melepaskan muatan listrik. Zainal
Muttaqien (2001) mengatakan keadaan tersebut bisa dikarenakan oleh adanya
perubahan, baik perubahan anatomis maupun perubahan biokimiawi pada sel-sel di
otak sendiri atau pada lingkungan sekitar otak. Terjadinya perubahan ini dapat
diakibatkan antara lain oleh trauma fisik, benturan, memar pada otak,
berkurangnya aliran darah atau zat asam akibat penyempitan pembuluh darah atau
adanya pendesakan/rangsangan oleh tumor. Perubahan yang dialami oleh sekelompok
sel-sel otak yang nantinya menjadi biang keladi terjadinya epilepsi diakibatkan
oleh berbagai faktor.
1.1.8 Pemeriksaan Diagnostik
1)
CT
Scan dan Magnetik resonance imaging (MRI) untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal
abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral. Epilepsi
simtomatik yang didasari oleh kerusakan jaringan otak yang tampak jelas pada CT
scan atau magnetic resonance imaging (MRI) maupun kerusakan otak yang tak jelas
tetapi dilatarbelakangi oleh masalah antenatal atau perinatal dengan defisit
neurologik yang jelas
2)
Elektroensefalogram(EEG)
untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu serangan
3)
Kimia
darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.
- mengukur kadar gula, kalsium dan natrium
dalam darah
- menilai fungsi hati dan ginjal
- menghitung jumlah sel darah putih
(jumlah yang meningkat menunjukkan adanya infeksi).
- Pungsi lumbal utnuk mengetahui apakah telah
terjadi infeksi otak
1.1.9 Penatalaksanaan
Manajemen
Epilepsi :
1) Pastikan diagnosa epilepsi dan
mengadakan explorasi etiologi dari epilepsi
2) Melakukan terapi simtomatik
3) Dalam memberikan terapi anti
epilepsi yang perlu diingat sasaran pengobatan yang dicapai, yakni:
-
Pengobatan
harus di berikan sampai penderita bebas serangan.
-
Pengobatan
hendaknya tidak mengganggu fungsi susunan syaraf pusat yang normal.
-
Penderita
dpat memiliki kualitas hidup yang optimal.
Penatalaksanaan medis ditujukan terhadap penyebab serangan.
Jika penyebabnya adalah akibat gangguan metabolisme (hipoglikemia, hipokalsemia),
perbaikan gangguan metabolism ini biasanya akan ikut menghilangkan serangan
itu.
Pengendalian epilepsi dengan obat dilakukan dengan tujuan
mencegah serangan. Ada empat obat yang ternyata bermanfaat untuk ini: fenitoin
(difenilhidantoin), karbamazepin, fenobarbital, dan asam valproik. Kebanyakan
pasien dapat dikontrol dengan salah satu dari obat tersebut di atas.
Cara
menanggulangi kejang epilepsi :
Selama
Kejang
- Berikan privasi dan perlindungan
pada pasien dari penonton yang ingin tahu
- Mengamankan pasien di lantai jika
memungkinkan
- Hindarkan benturan kepala atau
bagian tubuh lainnya dari bendar keras, tajam atau panas. Jauhkan ia dari
tempat / benda berbahaya.
- Longgarkan bajunya. Bila mungkin,
miringkan kepalanya kesamping untuk mencegah lidahnya menutupi jalan
pernapasan.
- Biarkan kejang berlangsung. Jangan
memasukkan benda keras diantara giginya, karena dapat mengakibatkan gigi patah.
Untuk mencegah gigi klien melukai lidah, dapat diselipkan kain lunak disela
mulut penderita tapi jangan sampai menutupi jalan pernapasannya.
- Ajarkan penderita untuk mengenali
tanda2 awal munculnya epilepsi atau yg biasa disebut "aura". Aura ini
bisa ditandai dengan sensasi aneh seperti perasaan bingung, melayang2, tidak
fokus pada aktivitas, mengantuk, dan mendengar bunyi yang melengking di
telinga. Jika Penderita mulai merasakan aura, maka sebaiknya berhenti melakukan
aktivitas apapun pada saat itu dan anjurkan untuk langsung beristirahat atau
tidur.
- Bila serangan berulang-ulang dalam
waktu singkat atau penyandang terluka berat, bawa ia ke dokter atau rumah sakit
terdekat.
Setelah
Kejang
- Penderita akan bingung atau
mengantuk setelah kejang terjadi.
- Pertahankan pasien pada salah satu
sisi untuk mencegah aspirasi. Yakinkan bahwa jalan napas paten.
- Biasanya terdapat periode ekonfusi
setelah kejang grand mal
- Periode apnea pendek dapat terjadi
selama atau secara tiba- tiba setelah kejang
- Pasien pada saaat bangun, harus
diorientasikan terhadap lingkungan
- Beri penderita minum untuk
mengembalikan energi yg hilang selama kejang dan biarkan penderita
beristirahat.
- Jika pasien mengalami serangan berat
setelah kejang (postiktal), coba untuk menangani situasi dengan pendekatan yang
lembut dan member restrein yang lembut
- Laporkan adanya serangan pada
kerabat terdekatnya. Ini penting untuk pemberian pengobatan oleh dokter.
Penanganan terhadap penyakit ini bukan saja menyangkut
penanganan medikamentosa dan perawatan belaka, namun yang lebih penting adalah
bagaimana meminimalisasikan dampak yang muncul akibat penyakit ini bagi
penderita dan keluarga maupun merubah stigma masyarakat tentang penderita
epilepsi.
1.1.10
Pencegahan
Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus
ditingkatkan untuk pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari
ibu yang menggunakan obat antikonvulsi (konvulsi: spasma atau kekejangan
kontraksi otot yang keras dan terlalu banyak, disebabkan oleh proses pada
system saraf pusat, yang menimbulkan pula kekejangan pada bagian tubuh) yang
digunakan sepanjang kehamilan. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab
utama yang dapat dicegah. Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi dan
tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga
mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai
resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan,
pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi) harus di identifikasi dan
dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cedera akhirnya
menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama kehamilan dan
persalinan.
Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang
pada usia dini, dan program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan
obat-obat anti konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan
bagian dari rencana pencegahan ini.
1.1.11
Pengobatan
Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang.
Penderita akan diberikan obat antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai
dengan jenis serangan. Penggunaan obat dalam waktu yang lama biasanya akan
menyebabkan masalah dalam kepatuhan minum obat (compliance) seta beberapa efek
samping yang mungkin timbul seperti pertumbuhan gusi, mengantuk, hiperaktif,
sakit kepala, dll.
Penyembuhan akan terjadi pada 30-40% anak dengan epilepsi.
Lama pengobatan tergantung jenis epilepsi dan etiologinya. Pada serangan ringan
selama 2-3th sudah cukup, sedang yang berat pengobatan bisa lebih dari 5th.
Penghentian pengobatan selalu harus dilakukan secara bertahap. Tindakan
pembedahan sering dipertimbangkan bila pengobatan tidak memberikan efek sama
sekali.
Penanganan terhadap anak kejang akan berpengaruh terhadap
kecerdasannya. Jika terlambat mengatasi kejang pada anak, ada kemungkinan
penyakit epilepsi, atau bahkan keterbalakangan mental. Keterbelakangan mental
di kemudian hari. Kondisi yang menyedihkan ini bisa berlangsung seumur
hidupnya.
Pada epilepsi umum sekunder, obat-obat yang menjadi lini
pertama pengobatan adalah karbamazepin dan fenitoin. Gabapentin, lamotrigine,
fenobarbital, primidone, tiagabine, topiramate, dan asam valproat digunakan
sebagai pengobatan lini kedua. Terapi dimulai dengan obat anti epilepsi garis
pertama. Bila plasma konsentrasi obat di ambang atas tingkat terapeutis namun
penderita masih kejang dan AED tak ada efek samping, maka dosis harus
ditingkatkan. Bila perlu diberikan gabungan dari 2 atau lebih AED, bila tak
mempan diberikan AED tingkat kedua sebagai add on.
1)
Fenitoin
(PHT)
Fenitoin dapat mengurangi masuknya Na ke dalam
neuron yang terangsang dan mengurangi amplitudo dan kenaikan maksimal dari aksi
potensial saluran Na peka voltase fenitoin dapat merintangi masuknya
Ca ke dalam neuron pada pelepasan neurotransmitter.
2)
Karbamazepin
(CBZ)
Karbamazepin dapat menghambat saluran Na .
Karbamazepin dapat memperpanjang inaktivasi saluran Na .juga menghambat
masuknya Ca ke dalam membran sinaptik.
3)
Fenobarbital
(PB)
Fenobarbital adalah obat yang digunakan secara luas sebagai
hipnotik, sedatif dan anastetik. Fenobarbital bekerja memperkuat hambatan
GABAergik dengan cara mengikat ke sisi kompleks saluran reseptor Cl-
pada GABAA. Pada tingkat selular, fenobarbital memperpanjang
potensial penghambat postsinaptik, bukan penambahan amplitudonya. Fenobarbital
menambah waktu buka jalur Cl- dan menambah lamanya letupan saluran
Cl- yang dipacu oleh GABA. Seperti fenitoin dan karbamazepin,
fenobarbital dapat memblokade aksi potensial yang diatur oleh Na .
Fenobarbital mengurangi pelepasan transmitter dari terminal saraf dengan cara
memblokade saluran Ca peka voltase.
4)
Asam
valproat (VPA)
VPA menambah aktivitas GABA di otak dengan cara menghambat
GABA-transaminase dan suksinik semialdehide dehidrogenase, enzim pertama dan
kedua pada jalur degradasi, dan aldehide reduktase. VPA bekerja pada saluran Na
peka voltase, dan menghambat letupan frekuensi tinggi dari neuron. VPA
memblokade rangsangan frekuensi rendah 3Hz dari neuron thalamus.
5)
Gabapentin
(GBP)
Cara kerja: mengikat pada reseptor spesifik di otak,
menghambat saluran Na peka voltase, dapat menambah pelepasan
GABA.11
6)
Lamotrigin
(LTG): Cara kerja: Menghambat saluran Na peka voltase.11
7)
Topiramate
(TPM): Cara kerja: Menghambat saluran Na , menambah kerja hambat
dari GABA.11
8)
Tiagabine
(TGB)
Cara kerja: menghambat kerja GABA dengan cara memblokir
uptake-nya.
1.2 Manajemen Keperawatan
1.2.1
Pengkajian
1) Biodata : Nama ,umur, seks, alamat,
suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan, dan penanggungjawabnya.
2) Usia: Penyakit epilepsi dapat
menyerang segala umur
Pekerjaan: Seseorang dengan
pekerjaan yang sering kali menimbulkan stress dapat memicu terjadinya epilepsi.
3) Kebiasaan yang mempengaruhi: peminum
alcohol (alcoholic)
4) Keluhan utama: Untuk keluhan utama,
pasien atau keluarga biasanya ketempat pelayanan kesehatan karena klien yang
mengalami penurunan kesadaran secara tiba-tiba disertai mulut berbuih.
Kadang-kadang klien / keluarga mengeluh anaknya prestasinya tidak baik dan
sering tidak mencatat. Klien atau keluarga mengeluh anaknya atau anggota
keluarganya sering berhenti mendadak bila diajak bicara.
5) Riwayat penyakit sekarang: kejang,
terjadi aura, dan tidak sadarkan diri.
6) Riwayat penyakit dahulu:
- Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
- Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
- Ganguan metabolik (hipoglikemia,
hipokalsemia, hiponatremia)
- Tumor Otak
- Kelainan pembuluh darah
- demam,
- stroke
- gangguan tidur
- penggunaan obat
- hiperventilasi
- stress emosional
7) Riwayat penyakit keluarga: Pandangan
yang mengatakan penyakit ayan merupakan penyakit keturunan memang tidak
semuanya keliru, sebab terdapat dugaan terdapat 4-8% penyandang ayan
diakibatkan oleh faktor keturunan.
8) Riwayat psikososial
- Intrapersonal : klien merasa cemas
dengan kondisi penyakit yang diderita.
- Interpersonal : gangguan konsep diri
dan hambatan interaksi sosial yang berhubungan dengan penyakit epilepsi (atau
“ayan” yang lebih umum di masyarakat).
9) Pemeriksaan fisik (ROS)
- B1 (breath): RR biasanya meningkat
(takipnea) atau dapat terjadi apnea, aspirasi
- B2 (blood): Terjadi takikardia,
cianosis
- B3 (brain): penurunan kesadaran
- B4 (bladder): oliguria atau dapat
terjadi inkontinensia urine
- B5 (bowel): nafsu makan menurun,
berat badan turun, inkontinensia alfi
- B6 (bone): klien terlihat lemas,
dapat terjadi tremor saat menggerakkan anggota tubuh, mengeluh meriang
10) Analisis Data
Data
|
Etiologi
|
Masalah
Keperawatan
|
DS:
DO:
pasien kejang (kaki menendang- nendang, ekstrimitas atas fleksi), gigi geligi
terkunci, lidah menjulur
|
perubahan aktivitas listrik di
otak
Keseimbangan terganggu
gerakan tidak terkontrol
|
Resiko
cedera
|
DS:
sesak,
DO:apnea,
cianosis
|
gangguan nervus V, IX, X
lidah melemah
menutup saluran trakea
Adanya obstruksi
|
Bersihan
jalan napas tidak efektif
|
DS:
terjadi aura (mendengar bunyi yang melengking di telinga, bau- bauan, melihat
sesuatu), halusinasi, perasaan bingung, melayang2.
DO:
penurunan respon terhadap stimulus, terjadi salah persepsi
|
Terjadi depolarisasi berlebih
Bangkitan listrik di bagian otak
serebrum
Menyebar ke nervus- nervus
Mempengaruhi aktivitas organ
sensori persepsi
|
Gangguan
persepsi sensori
|
DS:
klien terlihat rendah diri saat berinteraksi dengan orang lain
DO:menarik
diri
|
Stigma masyarakat yang buruk tentang
penyakit epilepsi atau ”ayan”
Klien merasa rendah diri
Menarik diri
|
Isolasi
sosial
|
DS:
klien terlihat cemas, gelisah.
DO:
takikardi, frekuensi napas cepat atau tidak teratur
|
Terjadi kejang epilepsi
Kurang pengetahuan tentang kondisi
penyakit
Bingung
|
Ansietas
|
DS:
pasien mengeluh sesak
DO:
RR meningkat dan tidak teratur,
|
Terjadi bangkitan listrik di otak
Menyebar ke daerah medula
oblongata
Mengganggu pusat respiratori
Mempengaruhi pola napas
|
Ketidakefektifan
pola napas
|
DS:
klien merasa lemas, klien mengeluh cepat lelah saat melakukan aktivitas
DO:takikardi,
takipnea,
|
terjadi bangkitan listrik di otak
menyebar ke MO
mengganggu pusat kardiovaskular
takikardia
CO menurun
Suplai darah (O2) ke jaringan
menurun
metabolisme aerob menjadi anaerob
ATP dari 38 menjadi 2
kelelahan
intoleransi aktifitas
|
Intoleransi
aktivitas
|
DS:
pasien menunjukkan kelelahan, diam, tidak banyak bergerak
DO:
penurunan kesadaran, penurunan kemampuan persepsi sensori, tidak ada reflek
|
CO menurun
Suplai darah ke otak berkurang
Iskemia jaringan serebral (O2
tidak adekuat)
|
Resiko
penurunan perfusi serebral
|
1.2.2
Diagnosa Keperawatan
1) Resiko cedera b.d aktivitas kejang
yang tidak terkontrol (gangguan keseimbangan).
2) Ketidakefektifan bersihan jalan
nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di endotrakea, peningkatan sekresi
saliva
3) Isolasi sosial b.d rendah diri
terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk penyakit epilepsi dalam masyarakat
4) Ketidakefektifan pola napas b.d
dispnea dan apnea
5) Intoleransi aktivitas b.d penurunan
kardiac output, takikardia
6) Gangguan persepsi sensori b.d
gangguan pada nervus organ sensori persepsi
7) Ansietas b.d kurang pengetahuan
mengenai penyakit
8) Resiko penurunan perfusi serebral
b.d penurunan suplai oksigen ke otak
1.2.3
Intervensi
dan rasional
1)
Resiko
cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan keseimbangan).
Tujuan :
Klien dapat mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan dapat
meminimalkan/menghindarinya, menciptakan keadaan yang aman untuk klien,
menghindari adanya cedera fisik, menghindari jatuh
Kriteria
hasil : tidak terjadi cedera fisik pada klien, klien dalam kondisi aman, tidak
ada memar, tidak jatuh
Intervensi
|
Rasional
|
Observasi:
Identivikasi
factor lingkungan yang memungkinkan resiko terjadinya cedera
|
Barang-
barang di sekitar pasien dapat membahayakan saat terjadi kejang
|
Pantau
status neurologis setiap 8 jam
|
Mengidentifikasi
perkembangan atau penyimpangan hasil yang diharapkan
|
Mandiri
Jauhkan
benda- benda yang dapat mengakibatkan terjadinya cedera pada pasien saat
terjadi kejang
|
Mengurangi
terjadinya cedera seperti akibat aktivitas kejang yang tidak terkontrol
|
Pasang
penghalang tempat tidur pasien
|
Penjagaan
untuk keamanan, untuk mencegah cidera atau jatuh
|
Letakkan
pasien di tempat yang rendah dan datar
|
Area
yang rendah dan datar dapat mencegah terjadinya cedera pada pasien
|
Tinggal
bersama pasien dalam waktu beberapa lama setelah kejang
|
Memberi
penjagaan untuk keamanan pasien untuk kemungkinan terjadi kejang kembali
|
Menyiapkan
kain lunak untuk mencegah terjadinya tergigitnya lidah saat terjadi kejang
|
Lidah
berpotensi tergigit saat kejang karena menjulur keluar
|
Tanyakan
pasien bila ada perasaan yang tidak biasa yang dialami beberapa saat sebelum
kejang
|
Untuk
mengidentifikasi manifestasi awal sebelum terjadinya kejang pada pasien
|
Kolaborasi:
Berikan
obat anti konvulsan sesuai advice dokter
|
Mengurangi
aktivitas kejang yang berkepanjangan, yang dapat mengurangi suplai oksigen ke
otak
|
Edukasi:
Anjurkan
pasien untuk memberi tahu jika merasa ada sesuatu yang tidak nyaman, atau
mengalami sesuatu yang tidak biasa sebagai permulaan terjadinya kejang.
|
Sebagai
informasi pada perawat untuk segera melakukan tindakan sebelum terjadinya
kejang berkelanjutan
|
Berikan
informasi pada keluarga tentang tindakan yang harus dilakukan selama pasien
kejang
|
Melibatkan
keluarga untuk mengurangi resiko cedera
|
2)
Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di endotrakea,
peningkatan sekresi saliva
Tujuan :
jalan nafas menjadi efektif
Kriteria hasil
: nafas normal (16-20 kali/ menit), tidak terjadi aspirasi, tidak ada dispnea
Intervensi
|
Rasional
|
Mandiri
Anjurkan
klien untuk mengosongkan mulut dari benda / zat tertentu / gigi palsu atau
alat yang lain jika fase aura terjadi dan untuk menghindari rahang mengatup
jika kejang terjadi tanpa ditandai gejala awal.
Letakkan
pasien dalam posisi miring, permukaan datar
Tanggalkan
pakaian pada daerah leher / dada dan abdomen
Melakukan
suction sesuai indikasi
Kolaborasi
Berikan
oksigen sesuai program terapi
|
menurunkan
resiko aspirasi atau masuknya sesuatu benda asing ke faring.
meningkatkan
aliran (drainase) sekret, mencegah lidah jatuh dan menyumbat jalan nafas
untuk
memfasilitasi usaha bernafas / ekspansi dada
Mengeluarkan
mukus yang berlebih, menurunkan resiko aspirasi atau asfiksia.
Membantu
memenuhi kebutuhan oksigen agar tetap adekuat, dapat menurunkan hipoksia
serebral sebagai akibat dari sirkulasi yang menurun atau oksigen sekunder
terhadap spasme vaskuler selama serangan kejang.
|
3)
Isolasi
sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk penyakit
epilepsi dalam masyarakat
Tujuan:
mengurangi rendah diri pasien
Kriteria
hasil:
- adanya interaksi pasien dengan
lingkungan sekitar
- menunjukkan adanya partisipasi
pasien dalam lingkungan masyarakat
Intervensi
|
Rasional
|
Observasi:
Identifikasi
dengan pasien, factor- factor yang berpengaruh pada perasaan isolasi sosial
pasien
|
Memberi
informasi pada perawat tentang factor yang menyebabkan isolasi sosial pasien
|
Mandiri
Memberikan
dukungan psikologis dan motivasi pada pasien
|
Dukungan
psikologis dan motivasi dapat membuat pasien lebih percaya diri
|
Kolaborasi:
Kolaborasi
dengan tim psikiater
|
Konseling
dapat membantu mengatasi perasaan terhadap kesadaran diri sendiri.
|
Rujuk
pasien/ orang terdekat pada kelompok penyokong, seperti yayasan epilepsi dan
sebagainya.
|
Memberikan
kesempatan untuk mendapatkan informasi, dukungan ide-ide untuk mengatasi
masalah dari orang lain yang telah mempunyai pengalaman yang sama.
|
Edukasi:
Anjurkan
keluarga untuk memberi motivasi kepada pasien
|
Keluarga
sebagai orang terdekat pasien, sangat mempunyai pengaruh besar dalam keadaan
psikologis pasien
|
Memberi
informasi pada keluarga dan teman dekat pasien bahwa penyakit epilepsi tidak
menular
|
Menghilangkan
stigma buruk terhadap penderita epilepsi (bahwa penyakit epilepsi dapat
menular).
|
3.4.
Evaluasi
1) Pasien tidak mengalami cedera, tidak
jatuh, tidak ada memar
2) Tidak ada obstruksi lidah, pasien
tidak mengalami apnea dan aspirasi
3) Pasien dapat berinteraksi kembali
dengan lingkungan sekitar, pasien tidak menarik diri (minder)
4) Pola napas normal, TTV dalam batas
normal
5) Pasien toleran dengan aktifitasnya,
pasien dapat melakukan aktifitas sehari- hari secara normal
6) Organ sensori dapat menerima
stimulus dan menginterpretasikan dengan normal
7) Ansietas pasien dan keluarga
berkurang, pasien tampak tenang
8) Status kesadaran pasien membaik
BAB 2
TINJAUAN KASUS
2.1
Pengkajian
Berdasarkan
pengkajian yang dilakukan pada hari Senin, 11 Juli 2016 pukul 09.00 WIB didapatkan data sebagai berikut.
2.1.1 Identitas
Pasien
Klien
bernama Tn. G, berusia 23 tahun. Klien berasal dari suku Dayak dan beragama Kristen Protestan. Pekerjaan Tn. G adalah Mahasiswa dan pendidikan terakhirnya adalah SMA. Klien belum menikah dan tinggal di Kuala Kurun. Klien masuk rumah sakit pada tanggal 10 Juli 2016 dengan diagnosa penurunan kesadaran ec kejang ec susp
epilepsi dd drug abuse.
2.1.2 Riwayat
Kesehatan/Perawatan
2.1.2.1
Keluhan Utama
Klien mengatakan “saya sesak napas”
2.1.2.2
Riwayat Penyakit Sekarang
Tn. G
mengatakan
bahwa pada tanggal 10 Juli
2016,
Tn. G
mengalami sakit kepala dan
meminum obat (pasien lupa nama obat), 2 jam kemudia pasien di tawarkan meminum
alkohol sebanyak 1 gelas dan segera pulang. Menurut keluarga, Tn.G di rumah
kejang dan mulut berbusa sehingga dilarikan ke RS Doris Sylvanus, di IGD pasien
datang dalam keadaan kejang dengan TTV, TD: 120/80 mmHg, nadi : 100x/menit, RR:
30 x/menit, GCS: E3 V1 M 4 dan mendapat terapi
pasang infus Nacl 0,9 % 1500cc/24 jam, pasang dower cateter , O2 Masker
8 LPM, injeksi Diazepam 5 mg/iv. Oleh
dokter dianjurkan dilakukan perawatan lanjutan di ruang itensive care.
2.1.2.3
Riwayat
Penyakit Sebelumnya
Keluarga klien menyatakan bahwa Tn. G tidak memiliki penyakit keturunan, penyakit menular
dan penyakit lainnya. Tn. G tidak pernah masuk rumah sakit sebelumnya, tidak
memiliki riwayat operasi.
2.1.2.4
Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga klien menyatakan tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat sakit
seperti Tn. G.
Tidak ada riwayat penyakit keturunan dalam keluarga
2.1.3
|
2.1.4 Pemeriksaan
Fisik
2.1.4.1
Keadaan Umum
Kesadaran pasien compos mentis; bentuk tubuh normal ; berbaring telentang tanpa bantal tidak menggunakan baju, menggunakan selimut,
menggunakan O2 sungkup 8 lpm, terpasang NGT terbuka, terpasang elektroda
untuk bedside monitor, menggunakan spirometri untuk SpO2, terpasang
infus NaCl 0.9% 96 ml/jam pada tangan kanan, terpasang kateter, terpasang
2.1.4.2
Status Mental
Kesadaran pasien compos
mentis, bentuk badan agak sedang , cara berbaring pasien terlentang tidak
menggunakan bantal, berbicara pasien jelas,klien tampak gelisah, penampilan
kurang rapi. Fungsi kognitif tidak dikaji, pasien dapat menyadari orang yang
mengunjunginya dan pasien menyadari
sedang dirawat di Rumah Sakit. Tidak ada halusinansi yang timbulkan oleh
pasien,
2.1.4.3
Tanda-tanda Vital
Pada saat
pengkajian tanda-tanda vital didapatkan hasil: suhu yang diukur di aksila
menunjukkan hasil 36.1 0C,
nadi yaitu 88 x/menit, pernapasan yaitu 28 x/menit, dan tekanan darah yaitu
107/73 mmHg, dan SpO2 99%.
2.1.4.4
Pernapasan (Breathing)
Pengkajian sistem pernapasan didapatkan: saat
inspeksi tampak simetris.
Menurut keluarga bahwa klien memiliki kebiasaan merokok, tidak ada batuk darah,
tidak
terdapat
akumulasi sekret di jalan napas , tipe pernapasan dada dan perut, irama pernapasan
tidak teratur, suara
napas vesikuler dan tidak
terdapat
suara napas tambahan,
menggunakan
O2 sungkup 8 lpm.
MK:
pola napas tidak efektif
2.1.4.5
Cardiovascular (Bleeding)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan
klien tampak sangat lemah, tidak
pucat, konjungtiva merah muda,
tidak ada sianosis, CRT <
2
detik, tidak terdapat
edema pada ekstremitas bawah dan pada ekstremitas atas, tidak terdapat ascites,
ictus cordis tidak terlihat, suara jantung S1-S2 reguler (lub dub), tidak
terdapat kelainan pada suara jantung, nadi teraba lemah dan cepat, akral hangat.
2.1.4.6
Persarafan (Brain)
Pengkajian pada sistem persarafan didapatkan: nilai GCS 15 (compos mentis), Pupil pasien isokor (3 mm) dengan refleks cahaya
untuk kanan dan kiri adalah positif, riwayat kejang
Uji Syaraf
Kranial :
Nervus
Kranial I :Olfaktori, Pasien
dapat mencium bau-bauan seperti : alkohol.
Nervus
Kranial II :Optikus, Pasien dapat
melihat dengan jelas orang yang
disekitarnya.
Nervus
Kranial III :Okulomotoris, Pupil
pasien dapat berkontraksi saat melihat cahaya.
Nervus
Kranial IV :Toklear, Pasien dapat menggerakkan
bola matanya ke atas dan ke bawah.
Nervus
Kranial V :Trigeminal, Pasien
dapat mengatup giginya
dengan baik
Nervus
Kranial VI :Abdusen, Pasien dapat menggerakkan matanya ke samping.
Nervus
Kranial VII :Fasial, Pasien dapat tersenyum dan dapat mengidentifikasi rasa asin.manis.
Nervus
Kranial VIII :Auditori, Pasien dapat
mendengar perkataan Dokter, Perawat dan keluarganya.
Nervus
Kranial IX :Glosofaringeal, Pasien
dapat menelan tanpa
adanya ganguan
Nervus
Kranial X :Vagus, sensasi faring dan gerakan pita
suara normal
Nervus
Kranial XI :Asesori, Pasien dapat mengangkat kepala dan mengangkat
bahunya.
Nervus
Kranial XII :Hipoglosal, Pasien dapat
mengatur posisi lidahnya ke atas dan ke bawah.
Uji
Koordinasi:
Ekstrimitas atas jari ke jari positif,
jari ke hidung positif, ekstrimitas bawah tumit ke jempol kaki positif. Uji kestabilan tubuh tidak dikaji.
MK:
Resiko cedera
2.1.4.7
Eliminasi Urine (Bladder)
Pada saat pengkajian, klien menggunakan kateter dengan produksi urine yang dihasilkan
adalah 100
mL dalam 6 jam, dengan warna kuning, baunya khas amoniak/pesing.
Hasil balance cairan Tn. S pada 30 Mei 2016 pukul 13.00 WIB yaitu
intake 459
ml, output 100
ml, IWL 137,5,
dan balance (+) 216,5.
2.1.4.8
Eliminasi Alvi (Bowel)
Mulut dan Faring, Bibir lembab,
gigi lengkap, lidah tidak ada
lesi,
mukosa baik,
tonsil baik, gusi tidak temukannya
peradangan ataupun pembengkakkan.
BAB 1 x/hr, warna kekuningan, konsistensi lembek, bising
usus tidak di kaji. Tidak ada keluhan dan masalah keperawatan eliminasi
2.1.4.9
Tulang-Otot-Integumen (Bone)
Pengkajian pada sistem tulang-otot-integumen
didapatkan: klien dapat melakukan pergerakan secara bebas uji kekuatan otot
didapatkan pada ekstremitas atas 5|5 dan pada ekstremitas bawah 5|5.
2.1.4.10 Kulit-kulit
Rambut
Pasien tidak
memiliki riwayat alergi baik pada obat, makanan, dan kosmetik. Suhu
kulit pasien hangat , warna kulitnya normal (coklat), turgor baik/elastis
kembali dalam waktu 1 detik dan teksturnya kasar. Pada kulit pasien tidak terdapat
jaringan parut, macula,
pustula, nodula, vesikula, papula dan ulkus, kulit punggung tampak kemerahan
dan terasa panas. Tekstur rambut lurus, kusut tidak terawat,
berwarna hitam terdistribusi secara
merata. Bentuk kuku
pasien juga simetris.
2.1.4.11 Sistem
Penginderaan
Sistem penginderaan meliputi mata, telinga dan
hidung, hasil pemeriksaannya adalah: konjungtiva merah muda, sklera berwarna putih atau normal dan
kornea tampak bening. Telinga pasien tidak mengalami gangguan, tidak ada otorrhea, Bentuk hidung pasien pun tampak
simetris, tidak
terjadi rhinorrhea, tidak
terdapat adanya lesi, tidak terdapat patensi, tidak terdapat obstruksi. Septum
nasal juga tidak mengalami deviasi, dan tidak terdapat polip pada hidung.
2.1.4.12 Leher
dan Kelenjar Limfe
Pada pemeriksaan daerah leher dan kelenjar limfe,
tidak ditemukan adanya massa, tidak ada jaringan parut, kelenjar limfe dan
tiroid tidak teraba, dan mobilitas leher klien terbatas.
2.1.4.13
Sistem
Reproduksi
Tidak dikaji
2.1.5 Pola
Fungsi Kesehatan
2.1.5.1
Persepsi Terhadap Kesehatan dan Penyakit
Pasien
mengatakan” Kesehatan itu sangat penting dan sayasangat menyesal sudah tidak
menjaga kesehatan saya..
2.1.5.2
Nutrisida Metabolisme
Pada pemeriksaan nutrisi metabolisme hasilnya adalah
TB pasien 168
cm, BB sekarang 55
kg, IMT yaitu 55 x 1,68m2
= 19,4 (Normal). Diet yang diberikan untuk pasien
adalah diet lunak.
Pola
Makan Sehari-hari
|
Selama
Sakit
|
Sebelum
Sakit
|
Frekuensi/hari
|
3
x/hari
|
2-3 x/hari
|
Porsi
|
½ porsi
|
1 porsi
|
Nafsu makan
|
-
|
Baik
|
Jenis Makanan
|
Nasi, sayur, lauk
|
Nasi, sayuran
berkuah, ikan sungai, buah-buahan, kadang-kadang juga daging.
|
Jenis Minuman
|
Susu dan air
putih
|
Kopi, Teh, dan
air putih
|
Jumlah
minuman/cc/24jam
|
150 ml/6 jam
|
± 900 cc/hari
|
Kebiasaan
makan
|
-
|
Tidak ada
kebiasaan khusus
|
Keluhan/masalah
|
-
|
-
|
MK:
Tidak
ada masalah keperawatan yang muncul.
2.1.5.3
Pola Istirahat dan Tidur
Pola istirahat
dan tidur klien
sebelum sakit yaitu: klien menyatakan bahwa siang hari klien memang jarang untuk beristirahat apabila
ada waktu luang ; malam hari biasanya tidur pukul 22.00 WIB, dan bangun biasanya pukul 04.00 atau 05.00 WIB.
Pola istirahat
dan tidur selama sakit yaitu pada siang
hari kurang lebih 2 jam dan pada malam
hari kurang lebih 4 jam.
2.1.5.4
Kognitif
Pasien mengatakan tahu bahwa mengalami kejang dan
pasti karena minum alkohol setelah minum obat sakit kepala.
2.1.5.5
Konsep Diri
Gambaran diri: pasien menyukai tubuhnya secara utuh,
ideal diri: pasien ingin cepat sembuh dari penyakit yang di deritanya,
identitas diri: pasien seorang anak
dari kedua orang tuanya , harga diri: pasien sangat di
perhatikan oleh keluarga,dan
merasa di hargai, Peran: pasien adalah sebagai anak
2.1.5.6
Aktivitas Sehari-hari
Aktivitas
sehari-hari didapatkan bahwa sebelum sakit klien sehari-hari beraktivitas sebagai seorang mahasiswa.
Aktivitas saat sakit yaitu klien menghabiskan waktu untuk beristirahat di tempat tidur
2.1.5.7
Koping-Toleransi terhadap Stres
Pasien
mengatakan jika ada masalah pasien selalu bercerita secara terbuka dengan
ibunya.
2.1.5.8
Nilai-Pola Keyakinan
Klien beragama Kristen Protestan dan tidak memiliki nilai-nilai yang bertentangan dengan
tindakan pengobatan dan perawatan. Pada pengkajian ini
tidak ditemukan masalah keperawatan.
2.1.6 Sosial-Spiritual
2.1.6.1
Kemampuan Berkomunikasi
Klien dapat diajak berkomunikasi secara verbal.
2.1.6.2
Bahasa Sehari-hari
Klien
berkomunikasi sehari-hari menggunakan bahasa Dayak.
2.1.6.3
Hubungan dengan Keluarga
Klien memiliki hubungan dengan keluarga yang
terjalin baik dan harmonis.
2.1.6.4
Kebiasaan Menggunakan Waktu Luang
Saat di rumah klien biasanya menghabiskan waktu untuk kuliah dan kegiatan
lainnya.
2.1.7 Data
Penunjang
Tabel 2.1 Pemeriksaan
Laboratorium
11 Juli 2016
|
Hemoglobin
Natrium (Na)
Kalium (K)
Calcium (Ca)
Glukosa Sewaktu
Kreatinin
WBC
RBC
|
14,1g%
142 mmol/L
3,9mmol/L
1,05 mmol/L
84 mg/dl
0,81 mg/dl
8,87x10^3/uL
5,14x10Ù5
uL
|
L: 13,5-18,0
135-148 mmol/L
3,5-5,3 mmol/L
0,98-1,2 mmol/L
< 200 mg/dl
0,17-1,5
4.00-10.00
3.50
– 5.50
|
|||
Sumber: Hasil
pemeriksaan laboratorium pasien di ruang ICU.
2.1.8 Penatalaksanaan
Medis
Tabel 2.2 Terapi Medis Mei 2016
Lansoprazole diindikasikan untuk Ulkus duodenum., Benigna ulkus gaster, dan
Refluks esofagitis
|
|||
Kehilangan kesadaran akibat kerusakan otak, trauma kepala atau
operasi otak dan serebral infark.
Percepatan rehabilitasi ekstremitas atas pada pasien pasca
hemiplegia apoplektik.
|
|||
Riwayat alergi dengan CBZ atau obat lain
dengan bentuk kimia yang mirip (anti depresan trisiklik, seperti
amitriptilin); Gangguan jantung blok AV (atrioventrikular) dimana
aliran konduksi jantung terganggu; Adanya riwayat penghambatan sumsum tulang;
Riwayat porfiria hepatik (gangguan pembentukan hemoglobin karena kelainan genetik);
Kombinasi dengan obat golongan MAOIs (monoamine-oxidase inhibitors)
seperti selegilin, rasagilin; Gangguan hati.
|
2.2
Analisa data
Berdasarkan data-data yang didapat dari hasil
pengkajian maka dapat dilakukan analisis data, yaitu.
Tabel 2.3
Analisis Data
·
TTV: Suhu 36,1 0C, nadi yaitu 88 x/menit,
pernapasan yaitu 28 x/menit, dan tekanan darah yaitu 107/73 mmHg.
·
Kesadaran
compos mentis
·
GCS : 15
·
Riw.Kejang
·
Pupil isokor
·
Reflek cahaya kanan
dan kiri positif
·
Klien tampak
gelisah
|
perubahan aktivitas listrik di otak
Keseimbangan terganggu
gerakan
tidak terkontrol
|
|
·
TTV: Suhu 36,1 0C, nadi yaitu 88 x/menit,
pernapasan yaitu 28 x/menit, dan tekanan darah yaitu 107/73 mmHg.
·
Kesadaran
compos mentis
·
Tipe
pernapasan dada dan perut
·
Irama
pernapasan tidak teratur dan suara napas vesikuler
·
Tidak ada
tarikan dinding dada
·
Perkembangan paru simetris.
|
Terjadi bangkitan listrik di otak
Menyebar ke daerah medula oblongata
Mengganggu pusat respiratori
Mempengaruhi
pola napas
|
2.3
Prioritas Masalah
Berdasarkan analisis data di atas maka dapat
diprioritaskan masalah keperawatan adalah sebagai berikut.
1.
Pola napas tidak efektif berhubungan
dengan bangkitan listrik mengganggu pusat respiratori
2.
Resiko cedera berhubungan
dengan aktivitas kejang
Intervensi Keperawatan
Diagnosa
|
Tujuan dan kriteria hasil
|
Intervensi
|
Rasional
|
Pola napas
tidak efektif berhubungan dengan bangkitan listrik mengganggu pusat
respiratori, ditandai dengan:
·
TTV: Suhu 36,1 0C, nadi yaitu 88 x/menit,
pernapasan yaitu 28 x/menit, dan tekanan darah yaitu 107/73 mmHg.
·
Kesadaran
compos mentis
·
Tipe
pernapasan dada dan perut
·
Irama
pernapasan tidak teratur dan suara napas vesikuler
·
Tidak ada
tarikan dinding dada
·
Perkembangan paru simetris.
|
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1 x 7 jam diharapkan pola napas kembali efektif dengan
kriteria hasil:
-
Keluhan sesak berkurang
-
TTV dalam batas normal
-
Kesadaran compos mentis
-
GCS 15
-
Tipe pernapasan dada
-
Irama pernapasan teratur dan tidak ada suara napas
tambahan
-
Tidak ada tarikan dinding dada
-
Perkembangan paru simetris
|
1. Kaji
status respirasi (Frekuensi , kedalaman, tipe pernapasan, suara napas
tambahan)
2. Berikan
posisi yang nyaman bagi pasien
3. Ajarkan
tehnik relaksasi napas dalam
4. Kolaborasi
dalam terapi oksigen
|
1. Mengidentifikasi
perkembangan atau penyimpangan dari yang diharapkan
2. Memberikan
kenyamanan sesuai dengan kriteria pasien sehingga mencapai target yang ingin
dicapai
3. Memberikan
relaksasi terhadap otot-otot pernapasan guna pengembangan ekspansi paru.
4. Secara
efektif menambah suplai oksigen secara efisien.
|
Resiko
cedera berhubungan dengan aktivitas
kejang, ditandai dengan:
·
TTV: Suhu 36,1 0C, nadi yaitu 88 x/menit,
pernapasan yaitu 28 x/menit, dan tekanan darah yaitu 107/73 mmHg.
·
Kesadaran
compos mentis
·
GCS : 15
·
Riw.Kejang
·
Pupil isokor
·
Reflek cahaya
kanan dan kiri positif
·
Klien tampak
gelisah
|
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1 x 7 jam diharapkan resiko cedera dapat diminimalkan,
dengan kriteria hasil:
-
TTV dalan batas normal
-
Kesadara compos mentis
-
GCS 15
-
Tidak ada kejang
-
Pupil isokor
-
Refleks cahaya positif kanan dan kiri
-
Klien tampak tenang
|
1.
Pantau
status neurologis setiap 8 jam
2.
Pasang
penghalang tempat tidur pasien
3.
Anjurkan
pasien untuk memberi tahu jika merasa ada sesuatu yang tidak nyaman, atau
mengalami sesuatu yang tidak biasa sebagai permulaan terjadinya kejang.
4.
Berikan
obat anti konvulsan sesuai advice dokter
|
1.Mengidentifikasi
perkembangan atau penyimpangan hasil yang diharapkan
2.Penjagaan
untuk keamanan, untuk mencegah cidera atau jatuh
3.Sebagai
informasi pada perawat untuk segera melakukan tindakan sebelum terjadinya
kejang berkelanjutan
4.Mengurangi
aktivitas kejang yang berkepanjangan, yang dapat mengurangi suplai oksigen ke
otak
|
Implementasi dan Evaluasi
Keperawatan
Hari/tanggal
|
Diagnosa
|
Implementasi
|
Evaluasi
(SOAP)
|
Nama dan
tanda tangan perawat
|
11.07.2016
|
1
|
1. Mengkaji
status respirasi (keluhan, Frekuensi , kedalaman, tipe pernapasan, suara
napas tambahan)
2. Memberikan
posisi yang nyaman bagi pasien yaitu semifowler sampai fowler
3. Mengajarkan
tehnik relaksasi napas dalam
4. Berkolaborasi
dalam terapi oksigen” nassal kanul 3 lpm
|
S: pasien
mengatakan masih sesak
O: Frekuensi
RR 25 x/menit, tipe pernapasan dada dan perut, tidak ada suara napas
tambahan, posisi fowler.semifowler, terpasang nassal kanul 3 lpm.
A: masalah
teratasi sebagian
P: hentikann
intervensi (pasien pulang atas permintaan sendiri)
|
|
11.7.2016
|
2
|
1.
Memantau
status neurologis setiap 8 jam
2.
Memasang
penghalang tempat tidur pasien
3.
Menganjurkan
pasien untuk memberi tahu jika merasa ada sesuatu yang tidak nyaman, atau
mengalami sesuatu yang tidak biasa sebagai permulaan terjadinya kejang.
4.
Memberikan
obat anti konvulsan sesuai advice dokter
Tegretol
250 mg
|
S: -
O: TTV: Suhu 36 0C, nadi yaitu 89 x/menit,
pernapasan yaitu 25x/menit, dan tekanan darah yaitu 110/80 mmHg, Kesadaran
compos mentis, GCS : 15, Kejang tidak ada, Pupil isokor, Reflek cahaya kanan
dan kiri positif, Klien tampak gelisah
A: masalah
teratasi sebagian
P: hentikan
intervensi (pasien pulang atas permintaan sendiri)
|
|